JAKARTA – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), sebuah koalisi masyarakat sipil, mendesak Presiden Republik Indonesia segera membatalkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang disahkan oleh DPR RI pada 20 Maret 2025. TAUD menilai proses pembahasan dan pengesahan revisi UU tersebut cacat prosedur dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta supremasi sipil.
Dalam siaran pers yang dirilis Kamis (10/4), TAUD menyebut bahwa pengesahan revisi dilakukan secara terburu-buru, tidak transparan, dan tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai. Hal ini, menurut mereka, bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pengesahan Undang-Undang tersebut dilakukan di tengah-tengah masifnya penolakan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Penolakan tersebut didasari oleh serampangannya Pemerintah dalam pembahasan serta penyusunan UU tersebut,” kata TAUD dalam keterangan tertulisnya.
Selain proses yang dinilai bermasalah, substansi dari revisi UU TNI juga menuai kritik tajam. Perubahan pada Pasal 7 mengenai operasi militer selain perang, Pasal 47 mengenai perluasan jabatan publik bagi prajurit TNI, serta Pasal 53 mengenai batas usia pensiun, dikhawatirkan dapat membuka kembali ruang bagi dwifungsi militer sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
“Revisi UU TNI ini juga dikhawatirkan kembali menguatkan rantai impunitas yang selama ini menggerogoti tubuh TNI,” sambungya.
TAUD mengungkapkan bahwa pengesahan ini telah memicu gelombang aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah. Penolakan yang disuarakan melalui tagar seperti #TolakRUUTNI dan #KembalikanTNIkebarak tak hanya menunjukkan ketidakpuasan publik, tetapi juga menggambarkan kekhawatiran terhadap arah demokrasi di Indonesia.
Koalisi ini juga menyampaikan serangkaian tuntutan kepada pemerintah, termasuk permintaan agar Presiden membatalkan pengesahan revisi UU TNI, serta mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (OPCAT) sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia.
“Kami juga meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan pro-justisia atas serangkaian peristiwa pengamanan aksi #TolakUUTNI yang diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM Berat di dalamnya,” tegasnya
Lebih lanjut, TAUD mendesak Kompolnas untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian selama pengamanan aksi, dan meminta Kepolisian RI menindak tegas anggota yang terbukti melanggar hukum atau prosedur.
Bagi TAUD, peristiwa ini bukan kasus tunggal. Mereka mencatat pola serupa juga terjadi dalam aksi-aksi besar sebelumnya seperti #PeringatanDarurat2024, aksi Omnibus Law 2020, dan Reformasi Dikorupsi 2019. Pola kekerasan, pembungkaman, dan kriminalisasi terhadap suara-suara kritis dinilai terus berulang tanpa penyelesaian yang akuntabel.
Dengan berbagai temuan dan dorongan tersebut, TAUD menekankan bahwa langkah pemerintah dalam merevisi UU TNI tidak hanya memperlemah demokrasi, tetapi juga menandai kemunduran dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan supremasi sipil di Indonesia.