JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan adanya pola kekerasan sistematis oleh aparat keamanan selama gelombang aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam siaran persnya, TAUD membeberkan data dan temuan kekerasan yang terjadi selama dua periode pemantauan, yakni sebelum dan sesudah pengesahan Revisi UU TNI tersebut.
Pemantauan sebelum pengesahan dilakukan pada 15–20 Maret 2025. Dalam periode itu, TAUD mencatat aksi demonstrasi terjadi di empat kota/kabupaten. Aksi-aksi ini diwarnai tindakan represif aparat, yang menyebabkan 15 orang ditangkap dan 8 lainnya mengalami luka.
TAUD menyoroti adanya upaya pembungkaman seperti framing negatif, kriminalisasi, hingga teror terhadap organisasi masyarakat sipil seperti KontraS.
“Framing terjadi setelah Koalisi Masyarakat Sipil melakukan penggerebekan rapat Panja RUU TNI di Hotel Fairmont. Dua aktivis dilaporkan ke polisi, ini jelas bentuk pembungkaman,” tulis pernyataan TAUD, Kamis (10/4).
Lebih lanjut, aksi intimidasi juga dialami KontraS, baik secara langsung maupun digital. Kantor mereka diawasi orang tak dikenal, sementara salah satu anggota Badan Pekerja KontraS menerima panggilan misterius yang diduga berasal dari anggota intel Kodam Jaya.
Pada aksi demonstrasi 20 Maret 2025, aparat kembali memamerkan kekerasan. Di Jakarta, 5.021 personel gabungan dikerahkan. Penangkapan, penyiksaan, dan serangan digital pun dilaporkan terjadi. Mahasiswa dan driver ojek online menjadi korban, sementara jurnalis juga tidak luput dari intimidasi.
“Setelah aksi berakhir, teror terus berlangsung. Tempo menerima kiriman kepala babi dan bangkai tikus, sedangkan jurnalis Francisca Christy Rosana mengalami doxxing,” ungkap TAUD.
Pasca pengesahan Revisi UU TNI, TAUD mencatat peningkatan eskalasi penolakan di 69 titik selama 21–28 Maret 2025. Namun, aksi damai itu kembali dibalas dengan kekerasan oleh aparat keamanan di 15 kota/kabupaten. Sebanyak 68 orang luka-luka dan 153 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Bahkan, 18 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput aksi.
Serangan digital juga merajalela. SAFEnet mencatat 25 insiden peretasan selama 19–27 Maret 2025, termasuk terhadap massa aksi di Jakarta dan Surabaya. Aksi teror kembali menyasar KontraS dan para demonstran, termasuk pengintaian dan intimidasi menjelang aksi di Temanggung.
Menurut TAUD, pola kekerasan ini bukan hal baru. Serupa terjadi saat pengamanan aksi #PeringatanDarurat2024, Omnibus Law 2020, dan Reformasi Dikorupsi 2019. Mereka mendesak Presiden membatalkan UU TNI yang dinilai merusak demokrasi dan supremasi sipil.