Kelompok Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Dzakwan Edza

Kelompok Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto. Foto/KontraS.org

JAKARTA — Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyerahkan surat terbuka kepada Kementerian Sosial (Kemensos) pada Kamis, (10/4/2025). Hal ini sebagai bentuk penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia.

Penolakan didasarkan rekam jejak buruk dan berdarah Soeharto selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden.

GEMAS terdiri dari keluarga korban pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), jaringan organisasi masyarakat sipil, serta individu-individu yang menuntut pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran HAM. Mulai dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mereka nilai dilakukan selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

“Penolakan ini kami dasarkan pada rekam jejak buruk dan berdarah Soeharto selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden. Ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” demikian pernyataan KontraS dalam siaran pers.

Berdasarkan informasi dari situs resmi Kemensos, saat ini Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) sedang membahas nama-nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional, termasuk nama Soeharto. Proses pengusulan ini dijadwalkan selesai pada 11 April 2025. Setelah dilakukan verifikasi, TP2GP akan menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Sosial untuk kemudian diserahkan kepada Presiden.

Dinilai sebagai bentuk penghapusan sejarah dan pemutihan atas berbagai kejahatan.

GEMAS menilai, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah bentuk “penghapusan sejarah dan pemutihan atas berbagai kejahatan” yang dilakukan Soeharto. Mereka mengingatkan bahwa pasca Reformasi, negara telah secara resmi mengakui pelanggaran HAM berat, serta praktik KKN yang dilakukan pada masa Orde Baru melalui TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN dan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

“Patut dipertimbangkan bahwa upaya dalam mendorong perbaikan situasi dan kehidupan bernegara pasca rezim otoritarian orde baru sudah sepatutnya menjadi dasar dalam menyelenggarakan urusan negara dalam semangat anti KKN, mengedepankan penguatan demokrasi dan rule of law, serta berpijak pada nilai HAM dan suri tauladan yang ksatria serta tidak memberikan toleransi kepada individu yang merugikan Negara Republik Indonesia,” tegasnya dalam keterangan tertulis.

Mereka menambahkan, bahwa langkah ini penting demi menghormati hak dan martabat keluarga korban pelanggaran HAM yang masih menantikan keadilan. Selain itu demi masa depan generasi muda agar tidak menormalisasi kekerasan dalam sejarah bangsa.

GEMAS meminta agar pemerintah tidak melupakan sejarah kelam masa lalu, dan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan serta nilai-nilai luhur dalam menentukan tokoh yang layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Also Read

[addtoany]

Tags

Leave a Comment