partikel.id / Seni Budaya / Dari Sketsa ke Lensa: Perjalanan Kerja Kerupaan Juanda Randa

Dari Sketsa ke Lensa: Perjalanan Kerja Kerupaan Juanda Randa

-

Dzakwan Edza Tim Redaksi
Juanda Randa
Foto: Juanda Randa

Jakarta, partikel.id – Ia seorang kawan lama yang kutemui pertama kali di Aksi Kamisan sekitar tujuh tahun lalu. Sejak itu kami berkawan dan tidak jarang pertemanan kami dibangun dengan percakapan-percakapan soal buku dan kesenian. Dan pada suatu hari, dirinya mengabariku, menawarkan sweternya untuk dibarter dengan sebuah buku.

Aku mengiyakan sekaligus menawarkannya sebagai narasumber untuk feature yang saat ini sedang kalian baca. Di rumah tapak sederhana di sekitar Pasar Rumput, Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2025), aku bertemu dengannya, Juanda Randa.

Ia kini lebih dikenal sebagai juru potret yang menapaki karirnya di fotografi musik. Perjalanan pria yang kerap disapa Randa itu tidak langsung bermula dari kamera, melainkan dari pensil, cat, dan kanvas. Ia jatuh cinta pada seni rupa lebih dulu, sebelum akhirnya menemukan bahwa fotografi bukan hanya medium ekspresi, tapi juga jalan ninja yang bisa menghidupinya.

Artwork Juanda Randa
Artwork/Juanda Randa. Foto: Dokumentasi Pribadi

Bermula Anak IKJ, Darah Keluarga, dan Jakarta Biennale 

Pertemuannya pada dunia seni bermula sejak SMP, ketika ia menyaksikan penampilan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Taman Ismail Marzuki. “Waktu itu masih SMP, gue pacaran ke Taman Ismail Marzuki. Ngeliat anak IKJ yang kuliah tapi pakaiannya semrawut gitu. Stigma gue orang kuliah rapih, kemejaan gitu. Cuman IKJ yang dasarnya anak seni ngerubah cara pandang gue soal anak kuliahan. Gue jadi nemuin hal baru di situ. Kalau perkuliahan gak kayak gitu, banyak kebebasan juga ternyata,” ujarnya.

Ia juga sadar ada pengaruh keluarga yang memperkuat kecenderungannya terhadap dunia visual. Omnya gemar melukis, begitu juga ayahnya. “Ternyata, om gue juga bisa lukis. Nah, garis keluarga bokap gue ada yang bisa ngelukis. Termasuk bokap gue juga bisa ngelukis. Jadi setelah lulus SMP, gue makin melek seni.”

Jakarta Biennale yang digelar di Gudang Sarinah jadi pameran seni pertama yang dikunjungi Randa. Saat itu, ia masih duduk di bangku SMA. “Pertama kali gue mampir ke pameran gede itu Jakarta Biennale. Terus gue ngeliatin om gue juga. Dia lumayan apresiatif. Terus gue ngeliat visual-visualnya banyak banget. Karena beberapa gedung dijadikan ruang pameran, itu makin memperkaya gue akan visual dan kesenian,” kenangnya.

Lukisan Juanda Randa
Lukisan Juanda Randa. Foto: Dokumentasi Pribadi

Dari situ, ia mulai menggambar menggunakan sketchbook, pensil, dan cat seadanya. “Memutuskan (mulai, red) gambar itu waktu gue SMA. Tapi sebenernya gak mutusin juga sih, karena gue pikir gak ada hal yang harus dilakuin juga. Saat itu lagi ada alatnya aja,” ucapnya.

Fotografi Sebagai (Semacam) Jawaban

Sejak itu, ia terus merupa dengan segala hal yang ia punya. Dan seiring waktu berjalan, muncul sebuah pertanyaan, apakah hidup bisa digantungkan dengan sketchbook, pensil, dan cat yang seadanya?

“Waktu itu gue sering mempertanyakan apakah jadi seorang pelukis bisa menghasilkan uang? Apa bisa menghidupi diri sendiri? Hal-hal begitu deh,” katanya.

Jepretan Juanda Randa
Jepretan Juanda Randa. Foto: Dokumentasi Pribadi

Pertanyaan itu pun secara perlahan mengiringinya ke sebuah muara, fotografi. Menurutnya, fotografi datang menghampirinya, berbeda dengan seni rupa yang harus ia kejar. “Kayaknya gue lebih bisa hidup di fotografi daripada lukis, dan fotografi juga selalu mendekatkan gue sih. Sementara kalau lukis itu, gue yang ngedeketin dia,” ungkapnya.

Meskipun saat itu Randa belum memiliki kamera profesional, namun beruntung ada saja teman yang tiba-tiba berkenan meminjamkan kameranya, atau band dan brand yang memintanya memotret. “Padahal gue gak nyari, tapi ada aja dorongannya. Hal-hal yang gak gue kejar, tapi malah dia (fotografi) mendekatkan gue,” katanya, menegaskan.

Turning point datang ketika ia menerima bayaran pertamanya dari sebuah brand di sekitar tahun 2021. “Payment pertama gue tuh 2021 kayaknya deh. Lupa gue,” ucapnya. Meskipun saat itu belum sepenuhnya bisa hidup dari fotografi, ada dorongan kuat untuk terus melanjutkan kariernya di bidang ini.

Mulanya, ia mengawali kerja-kerja visualnya dengan sistem barter. “Gue nge-DM brand yang sering nge-ADS gitu, terus gue tawarin jasa foto gue dan bilang kalau ini sistemnya barter, bisa dituker kaos atau apapun,” ungkap Randa. Meskipun begitu, dari barter itulah ia akhirnya mendapatkan klien berbayar. “Ada brand gue pernah dibayar 500 ribu karena fotoin mereka. Gue seneng banget saat itu,” kenangnya dengan penuh semangat.

Resign: Gak Ada Jalan Lain Selain Fotografi

Berkisar di tahun 2023 ia resign dari pekerjaan full-time-nya di restoran pizza. Ia mengaku tidak ingin selamanya bekerja di industri F&B dengan gaji yang pas-pasan. “Gue mikirnya udah gak ada cara lain lagi, harus bisa hidup dari sini (fotografi),” tegasnya.

Jepretan Juanda Randa
Jepretan Juanda Randa. Foto: Dokumentasi Pribadi

Meskipun sudah banting setir ke fotografi, perjalanan Randa bukan tanpa kelok. Tabungan dari pekerjaan sebelumnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beberapa bulan. “Ada masanya gue makan telur doang sehari atau seharian makan mie doang,” tuturnya.

Hingga pada tahun 2024, ia mulai merasakan keberlanjutan. “2024 awal Februari gitu gue udah mulai ada-ada klien yang tau kalau gue fotografer,” katanya. Dari situ, aliran pekerjaan mulai stabil, meski ia tetap menyebut berada dalam fase struggle.

Memaknai Fotografi Bukan Hanya Sebagai Karya Visual di Kelas Pagi

Dalam perjalanan itu, Randa tak hanya belajar dari pengalaman lapangan. Ia juga bergabung dengan Kelas Pagi, sebuah komunitas belajar fotografi non-formal yang didirikan oleh fotografer senior Anton Ismael. Di sana, fotografi bukan sekadar teknik, melainkan ruang tukar pikir, pertemanan, dan koneksi yang memperkaya cara pandangnya.

“Oh iya, sama yang berpengaruh dalam karier fotografi gue itu Kelas Pagi sih. Koneksinya, pertemanan, pembelajaran pastinya,” katanya.

Bagi Randa, Kelas Pagi bukan sekadar kelas. Ia melihatnya sebagai ekosistem kreatif yang membuat fotografer lebih sadar pada lingkungan sosial. Dari sekadar nongkrong hingga diskusi serius, semua menjadi bagian dari proses. “Yang penting justru lu gak hanya belajar teknik fotografi. Tapi hal-hal lain yang bisa lebih aware sama lingkungannya,” jelasnya.

Jepretan Juanda Randa
Foto: Juanda Randa

Meskipun seni rupa telah mematahkan hatinya, fotografi membawanya pada jatuh hati yang baru. Yang menurutnya tidak ia kejar, namun dijemput. Kini, Randa cukup dikenal lewat karya-karya fotonya yang memotret skena musik indie dan underground.

Di musik indie, ia kerap memotret panggung band new wave kawakan asal Jakarta, Goodnight Electric. Berbeda dengan lingkup musik underground, dirinya memotret banyak band hardcore mulai dari DOXXING, Bleed, hingga antiseptic. Ia masuk ke tengah kerumunan, melebur dengan orang-orang yang melakukan moshing, lalu memotret dari jarak dekat tanpa takut kamera rusak atau tubuhnya terdorong penonton.

Randa mencoba melihat fotografi sebagai jawaban atas pertanyaan hidupnya. Namun, ia menolak melabeli dirinya sebagai stage photographer, meski banyak karyanya yang memotret musik. “Gue gak mau nyebutin diri gue sebagai stage photographer, gue gak mau ngelabelin itu. Gue mah fotographer aja udah. Karena gue mau ngerjain apapun juga,” katanya.

Baginya, perjalanannya juga masih sangat panjang. “Gue baru 3 tahunan and still nothing, bray,” katanya sekaligus menutup perbincangan kami sore itu.

Also Read

Tags

Leave a Comment