Hari yang Tidak Diinginkan, Tapi Kau Selalu Menanti untuk Segera Melewatinya

Dzakwan Edza

Memoar hari yang tidak diinginkan.
Foto/Putri Azra

Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat di kanal Medium penulis pada Maret, 2024 dengan judul “23”.

Lima tahun terakhir kau menghabiskan hari lahirmu dengan cara yang serupa seperti tahun yang sudah-sudah. Ketika hari lahirmu tiba, kau ingin sendiri. Menjauh dari segalanya. Kau berharap siapa pun tidak mengingat hari itu tak terkecuali dirimu.

Beberapa jam sebelum hari itu tiba, kau pernah menghabiskan malam di indekos kawanmu. Kau pamit satu jam sebelum hari itu tiba dan berkendara sepanjang tengah malam sambil ditemani earphone yang tak pernah absen di telinga. Ketika kau sadar air matamu sudah mengering dan cukup digunakan sebagai obat tidur, kau lantas bisa pulang.

Setahun yang lalu, sekitar pukul sembilan kau pergi dari rumah dengan sengaja untuk menjauh dari orang-orang rumah. Kau menghabiskan malam hingga hari itu tiba di restoran cepat saji. Kau memilih menyelesaikan kerja paruh-waktumu yang biasa dilakukan di kamar. Setelah itu kau (selalu) menulis tentang hari lahirmu, yang sampai saat ini tulisan-tulisanmu tentang hari itu tidak pernah selesai dan hanya menumpuk sebagai draft di laptop usangmu. Pesanan makan dan minum di restoran cepat saji itu adalah tanda lapar di perutmu. Bukan hadiah perayaan untuk hari lahirmu. Seperti yang sudah-sudah, kau pulang berkendara dengan earphone yang tak pernah lepas di telinga dan kedua mata yang tak pernah lepas dari hujan. Sekian tahun yang lalu, album Forget Your Plan jadi langganan perjalanan pulang pada hari lahirmu. Tapi, hari itu kau hanya mengulang-ngulang Birthday dari Beach Fossils.

Tahun kedua kau berpacaran, kau selalu menolak ajakan kekasihmu untuk merayakan hari lahirmu. Kau memilih untuk sendiri dan tidak memilih untuk merayakannya dengan sesiapa. Saat kau berharap siapa pun tidak ingin mengingat itu, kekasih dan ibumu malah tak pernah lupa untuk jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun.

Beberapa tahun yang lalu, orangtua dan kedua adikmu memberimu seloyang piza dengan lilin-lilin yang sudah menyala api di atasnya. Mereka berusaha mengejutkanmu pada tengah malam meski kau sedang sibuk dengan urusanmu yang entah apa. Mereka tampak meriah, tapi kau bingung bereaksi dan hanya mampu berterima kasih. Jauh dalam dirimu membatin, “untuk apa?”. Kejutan itu berlangsung singkat hingga salah satu adikmu mengumpat, “Gak seru.”

Tahun ini, hari itu tiba kembali. Beberapa jam sebelum hari lahirmu, kau mengantar-jemput ibumu. Di sela waktu menunggu menjemput, kau sempatkan mampir ke rumah kekasihmu yang jaraknya tidak begitu jauh.

Sepulangnya, hujan sudah membasahkuyupkan kau dan ibumu. Lantas kau membilas tubuh. Selesai itu, sejumlah komentar bernada benci hadir di kolom instagrammu. Kau mencari tahu asal-usulnya yang ternyata adalah temanmu. Video temanmu bertikai dengan tetangganya tersebar luas di jagat maya. Kau terkena getahnya karena di profil kawanmu ada tagging yang berasal dari unggahan instagram-mu. Tapi, kau menikmatinya sebagai lelucon belaka.

Hari berganti, hari lahirmu datang. Malam ini serupa hari-hari seperti biasa, yang berbeda hanya hujan di luar. Air yang meranggas dari langit seperti mata pisau yang terus jatuh. Hujan mengurungmu. Kau tak bisa keluar rumah melakukan reka adegan hari lahirmu seperti tahun-tahun kemarin. Menjauh dari semuanya.

Hari lahirmu adalah hari yang tidak kau inginkan, tapi kau selalu menanti untuk segera melewatinya. Kau selalu ingin bersembunyi dari hari itu, dari semuanya. Sepenuhnya yang kauinginkan hanyalah rasa sepi dan sendiri. Karena dengan itu kau tahu apa yang telah hilang dan masih tersisa. Sebab itu kau menulis dan merawatnya agar kau terus jatuh cinta lagi kepada dirimu sendiri, kepada kehidupan ini.

Meski sebenarnya kau tak pernah benar-benar mengerti. “Semuanya untuk apa?

Also Read

Leave a Comment