JAKARTA – Gelombang aksi protes terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus mendapatkan respons represif dari aparat kepolisian. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik penggunaan kekuatan berlebihan oleh Polri dalam menghadapi massa aksi, yang dinilai melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.
Dalam beberapa pekan terakhir, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, aktivis pro-demokrasi, dan pembela hak asasi manusia mendapat respons keras dari aparat. ICW menyebut banyak peserta aksi mengalami kekerasan fisik, intimidasi, bahkan penangkapan.
Laporan dari berbagai lembaga bantuan hukum mencatat lebih dari 25 orang mengalami penyiksaan, kekerasan, serta ancaman dalam aksi protes di sejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Medan, dan Kupang. Menurut ICW, tindakan ini menunjukkan bahwa Polri lebih mengedepankan pendekatan koersif daripada persuasif dalam menghadapi demonstrasi.
Padahal, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mengatur bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya tanpa takut akan kekerasan atau intimidasi. Pasal 13 dalam undang-undang tersebut bahkan mewajibkan Polri untuk memberikan perlindungan keamanan bagi massa aksi, bukan justru melakukan tindakan represif.
Selain itu, Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2012 juga menegaskan bahwa polisi harus mengutamakan pendekatan persuasif ketimbang kekerasan dalam menangani unjuk rasa. Namun, dalam praktiknya, aparat justru lebih sering menggunakan peralatan pengamanan massa yang dibeli dengan anggaran besar.
ICW menyoroti bahwa dalam rentang 2019-2025, Polri menghabiskan sekitar Rp3,8 triliun untuk membeli peralatan pengendalian massa, termasuk tameng, helm, dan tongkat baton. Alih-alih mengalokasikan dana untuk peningkatan keterampilan negosiasi dan mediasi, Polri justru lebih banyak berinvestasi dalam peralatan yang digunakan untuk menghadapi massa aksi.
ICW mendesak Polri untuk menghentikan penggunaan kekerasan terhadap massa aksi serta mengungkap secara transparan anggaran belanja pengamanan massa yang telah dikeluarkan sejak 2019. Selain itu, ICW juga meminta pemerintah dan DPR mengevaluasi belanja publik untuk kepolisian agar lebih akuntabel dan tidak justru menimbulkan pelanggaran HAM.
ICW juga menegaskan bahwa negara seharusnya mengutamakan pendekatan dialogis dan negosiasi dalam menghadapi kritik publik, bukan menggunakan kekuatan secara berlebihan yang justru memperparah ketegangan antara pemerintah dan masyarakat.