“Ini Akan Menghapus Sejarah Kelam Bangsa”
JAKARTA — Penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali disuarakan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama sejumlah korban pelanggaran HAM berat menyatakan keberatannya secara langsung kepada Kementerian Sosial.
Alasan aksi penolakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto
Dalam audiensi yang digelar bersama perwakilan Humas, Biro Hukum, dan staf khusus Kementerian Sosial, mereka menyampaikan berbagai alasan yang mendasari penolakan tersebut.
Koordinator KontraS, Yanti Andriyani, menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pemberian gelar pahlawan merupakan bagian dari praktik demokrasi. “Masyarakat sipil hari ini hadir ke Kementerian Sosial untuk berpartisipasi dalam negara demokrasi, karena pemberian gelar pahlawan ini syarat akan pelibatan aktif dari masyarakat sipil dan juga harus transparan,” ujarnya kepada awak media setelah audiensi.
Yanti mengingatkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada sosok yang memiliki integritas moral serta keteladanan. Kemudian, ia menegaskan bahwa rekam jejak Soeharto justru bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
“Rekam jejak Soeharto tidak layak sama sekali diberikan gelar pahlawan,” kata Yanti. Selain itu, Ia juga merujuk pada temuan Komnas HAM yang menetapkan sembilan kasus pelanggaran HAM berat sejak 1965 hingga 1998, termasuk di Aceh dan Papua, yang melibatkan rezim Soeharto.
Yanti juga mengangkat isu dugaan tindak pidana korupsi yang pernah menjerat Soeharto. “Soeharto merupakan seseorang yang pernah diduga melakukan tindak pidana korupsi sejak tahun 2000 dan sudah menjalani proses persidangan meskipun ditunda karena alasan kesehatan,” jelasnya.
Pernyataan ini diperkuat dengan referensi dari berbagai lembaga internasional. “Soeharto adalah pemimpin terkorup abad ke-20 menurut PBB melalui UNODC dan Bank Dunia. Laporan Transparency International juga menyebutkan Soeharto sebagai presiden terkorup,” tambahnya.
Selain pelanggaran HAM dan korupsi, KontraS juga menyoroti kebijakan represif terhadap perempuan serta pembatasan kebebasan berekspresi di era Orde Baru. Menurut Yanti, Soeharto menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan serta tindakan pengekangan terhadap media dan kebebasan akademik.
Yanti menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berisiko menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap berbagai pelanggaran di masa lalu. “Ini akan menghapuskan sejarah kelam bangsa kita, menghapuskan rekam jejak penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan,” katanya.
Dalam audiensi tersebut, KontraS juga menyerahkan petisi penolakan gelar pahlawan kepada Soeharto yang telah ditandatangani oleh 6.000 masyarakat sipil. Petisi ini juga mendapat dukungan dari lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil internasional.
“Harapannya penolakan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi Kementerian Sosial untuk tidak mengusulkan nama Soeharto menjadi pahlawan,” ujar Yanti. Ia mengingatkan bahwa proses pengusulan nama akan dilanjutkan pada bulan Juli melalui sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Pahlawan sebelum ditetapkan oleh Presiden pada November mendatang.
Korban 1965 Ikut Berpartisipasi dalam Aksi Penolakan Gelar Pahlawan Kepada Soeharto
Dalam kesempatan yang sama, Bedjo Untung, salah satu korban dari tragedi 1965, menyuarakan keberatannya secara langsung kepada Menteri Sosial. “Saya selaku korban kejahatan kemanusiaan Rezim Soeharto yang masih hidup menegaskan bahwa tragedi 65 adalah biang dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto,” ujarnya.
Bedjo menceritakan pengalamannya sebagai tahanan politik selama sembilan tahun, mengalami pembuangan dan kerja paksa bersama ratusan ribu korban lainnya di berbagai daerah. “Saya dipenjara, dibuang ke Kalong, Salemba, lalu ke kamp kerja paksa di Tangerang. Teman-teman saya juga dibuang ke Buloburu, Sumatera, Aceh, dan Palembang,” kenangnya.
Ia menyebut bahwa kejahatan tersebut belum pernah dipertanggungjawabkan oleh negara. “Sesuai dengan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM, Tragedi 65 adalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh kekuasaan, dan Soeharto sebagai pemimpinnya harus diadili,” ujar Bedjo.
Bedjo juga menyarankan agar pengadilan HAM segera dibentuk untuk mengadili Soeharto secara in absentia, meski ia telah wafat. “Bisa secara in absentia, artinya kita bisa tunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto,” tegasnya.
Ia juga mengkritik Soeharto sebagai pengkhianat bangsa. “Soeharto mengkhianati surat perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. SP 11 Maret bukan untuk membubarkan PKI atau menangkap para menteri, tapi Soeharto justru memenjarakan orang-orang tidak bersalah,” katanya.
“Saya lebih mengatakan Soeharto is the Hitler of Indonesia. Betapa diketawakan dunia internasional kalau orang seperti Soeharto dijadikan pahlawan,” pungkasnya.
Pernyataan tegas dari KontraS dan para korban pelanggaran HAM ini menjadi pengingat bahwa gelar pahlawan nasional bukan hanya soal penghargaan simbolik, tapi juga menyangkut tanggung jawab sejarah dan moral bangsa terhadap masa lalunya. Pemerintah diharapkan bijak dalam mempertimbangkan masukan masyarakat sipil sebagai bagian dari prinsip keterbukaan dan demokrasi.