Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Menilai Penyelesaian Permasalahan Hunian Warga Kampung Bayam Tidak Partisipatif

Dzakwan Edza

Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Menilai Penyelesaian Permasalahan Hunian Warga Kampung Bayam Tidak Partisipatif

JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung dinilai tidak partisipatif dalam menyelesaikan hunian bagi warga Kampung Bayam yang terdampak penggusuran.

Seremoni penyerahan kunci unit Kampung Susun Bayam (KSB) pada Kamis, 6 Maret 2025, dinilai tidak melibatkan seluruh warga yang terdampak dalam sengketa ruang hidup tersebut.

Acara seremonial yang digelar Pemprov DKI Jakarta hanya mengundang kurang dari 30 orang penghuni, sementara masih ada lebih dari 98 keluarga yang tidak mendapatkan kejelasan mengenai nasib mereka.

Padahal, warga Kampung Bayam telah mengalami ketidakpastian tempat tinggal yang layak selama bertahun-tahun sejak penggusuran.

Warga yang tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) menilai bahwa langkah Pemprov DKI Jakarta seharusnya lebih inklusif dengan melibatkan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.

“Gubernur DKI Jakarta perlu mengadopsi mekanisme partisipasi berbasis masyarakat yang tidak hanya formalitas,” ujar Shirley salah satu warga Kampung Bayam yang tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB)

Model pembangunan berbasis partisipasi masyarakat dinilai menjadi kunci dalam mengatasi persoalan hak atas tempat tinggal, terutama bagi kelompok rentan yang terkena dampak kebijakan relokasi.

Salah satu solusi yang diajukan oleh kelompok masyarakat adalah pengelolaan KSB secara kolektif melalui koperasi, sebagaimana yang telah diterapkan di Kampung Susun Akuarium.

Dengan sistem koperasi, kepemilikan unit hunian tidak bersifat semu, melainkan dikelola bersama oleh warga penghuni.

Dasar hukum pendekatan ini diatur dalam Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria serta Kepgub DKI Jakarta No. 979/2022.

Model ini dinilai dapat memberikan kepastian hukum bagi warga Kampung Bayam, memastikan stabilitas biaya hunian, serta menciptakan keamanan bermukim (security of tenure).

Selain itu, pengelolaan berbasis koperasi memungkinkan warga untuk mengembangkan usaha kolektif yang menopang ekonomi komunitas, alih-alih menerapkan skema berbasis komersial yang cenderung menyulitkan kelompok ekonomi rentan.

Tertundanya kepastian tempat tinggal bagi warga Kampung Bayam juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Berdasarkan Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM Nomor 11 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak, negara berkewajiban untuk memastikan setiap warga mendapatkan hak dasar atas hunian yang layak tanpa diskriminasi.

Penundaan ini juga bertentangan dengan Pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.

Selain itu, hal ini berpotensi melanggar Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sejumlah warga Kampung Bayam yang masih menunggu kepastian merasa kecewa dengan lambannya tindakan pemerintah.

“Kami sudah terlalu lama digantung, dulu dijanjikan akan diberi hunian layak, sekarang malah tidak jelas kapan bisa kembali,” kata Shirley.

Salah satu polemik terbesar dalam kasus ini adalah perubahan peruntukan KSB.

Semula, hunian ini dirancang untuk warga terdampak penggusuran, namun di tengah jalan, Pemprov DKI Jakarta bersama PT Jakarta Propertindo (JakPro) mengalihkannya menjadi Hunian Pekerja Pendukung Operasional (HPPO).

Padahal, dalam Kepgub DKI No. 979/2022, warga Kampung Bayam masuk dalam kategori “terprogram” yang memiliki hak untuk menempati KSB.

Data verifikasi calon penghuni yang disahkan melalui Surat Walikota Jakarta Utara kepada JakPro pada 30 Juni 2022 juga mempertegas hak mereka atas hunian ini.

Keputusan untuk mengubah peruntukan KSB tanpa konsultasi dengan warga dianggap sebagai pengabaian terhadap prinsip pemerintahan yang baik dan transparan.

Atas perkara ini, Warga yang tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera mengambil langkah konkret.

Beberapa tuntutan utama mereka yakni;

  • Menempatkan kembali seluruh warga Kampung Bayam yang berhak ke Kampung Susun Bayam secara partisipatif;
  • Menerapkan sistem pengelolaan berbasis koperasi untuk KSB, guna menjamin stabilitas hunian dan pemberdayaan warga;
  • Mengadakan forum audiensi resmi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan warga Kampung Bayam untuk mencari solusi bersama atas ketidakpastian yang terjadi.

 

Pewarta: Dzakwan Edza.

Editor: Paramita Sari Dewi

Also Read

[addtoany]

Leave a Comment